COWASJP.COM – Penulis adalah Kepala SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) Nasional Malang dan anggota CMM (Corp Muballigh Malang) Jamaah Haji 2025. Ibadah haji merupakan rukun Islam kelima yang diwajibkan bagi umat Muslim yang mampu, baik secara fisik, mental, maupun finansial.
Namun, pelaksanaan ibadah haji tidak semata urusan spiritual, melainkan juga mencerminkan kualitas manajemen dan kepemimpinan dalam skala besar. Tahun 2025 menandai kembali sejumlah tantangan serius dalam pelaksanaan haji. Khususnya bagi jamaah Indonesia yang merupakan salah satu kontingen terbesar di dunia.
Berbagai persoalan yang muncul menyoroti perlunya reformasi dalam tata kelola dan kepemimpinan penyelenggaraan haji.
1.Ketidaksiapan Petugas Haji
Masalah Perencanaan dan Rekrutmen. Masalah pertama yang mencuat adalah ketidaksiapan petugas haji Indonesia dalam menjalankan tugas di lapangan. Banyak petugas tidak memahami secara utuh tanggung jawabnya, bahkan ada yang minim pelatihan teknis dan mental dalam menghadapi situasi darurat.
Hal ini menunjukkan lemahnya sistem rekrutmen dan pelatihan, serta tidak adanya standar kompetensi yang jelas dalam pemilihan petugas.
Dalam konteks manajemen sumber daya manusia, maka hal ini adalah kegagalan dalam proses seleksi, pelatihan, dan pengawasan. Petugas seharusnya melalui pelatihan intensif berbasis simulasi lapangan dan penilaian berkala sebelum diberangkatkan.
2.Pelayanan Petugas yang Kurang Maksimal
Tidak hanya tidak siap, banyak petugas yang dinilai kurang memberikan pelayanan prima kepada jamaah. Sebagian terkesan pasif, bahkan lambat tanggap dalam menangani keluhan atau kebutuhan mendesak jamaah.
Hal ini menunjukkan lemahnya kepemimpinan operasional di lapangan. Petugas tidak memiliki teladan langsung atau pemimpin kelompok yang mampu memberi arahan cepat, mendukung tim, dan memastikan koordinasi efektif.
3.Katering Makanan yang Sering Terlambat atau Tidak Datang
Salah satu masalah paling meresahkan adalah distribusi makanan yang sering terlambat. Bahkan dalam dua kejadian ekstrem, tidak dikirim sama sekali.
Jamaah yang kelelahan dan dalam kondisi fisik rentan sangat bergantung pada pasokan makanan tepat waktu.
Kegagalan ini mencerminkan lemahnya sistem logistik dan pengendalian mutu dalam rantai distribusi katering.
Tidak adanya sistem pelaporan cepat dan evaluasi real-time membuat kendala kecil berkembang menjadi masalah besar.
4.Kekurangan Bus Maktab ke Arafah: Gagalnya Transportasi Massal
Banyak jamaah tidak terangkut dari maktab ke Arafah karena jumlah bus tidak mencukupi. Akibatnya, sebagian besar jamaah kehilangan momentum wukuf di Arafah — rukun haji yang sangat esensial.
Ini adalah kegagalan dalam perencanaan kapasitas transportasi. Tidak ada buffer unit, tidak ada jadwal alternatif, dan lemahnya koordinasi antar kelompok membuat transportasi haji menjadi titik rawan.
5.Kekurangan Bus Arafah ke Mina: Jamaah Terpaksa Jalan Kaki
Masalah serupa terjadi saat perpindahan dari Arafah ke Mina. Keterlambatan dan kekurangan armada menyebabkan banyak jamaah harus berjalan kaki dalam kondisi lelah, padat, dan berisiko tinggi bagi kesehatan.
Tidak adanya mitigasi risiko dan plan B menunjukkan bahwa manajemen darurat belum menjadi budaya dalam penyelenggaraan haji. Padahal, mobilisasi massal dalam kondisi terbatas seharusnya diantisipasi dengan manajemen risiko berbasis skenario.
PENAWARAN REKOMENDASI STRATEGIS
1.Reformasi Rekrutmen dan Pelatihan Petugas Haji
Petugas harus direkrut berdasarkan kompetensi dan kesiapan mental, serta diberi pelatihan berbasis skenario dan simulasi lapangan.
2.Peningkatan Kepemimpinan di Lapangan
Diperlukan pemimpin lapangan dengan otoritas dan kemampuan kepemimpinan situasional yang baik untuk memastikan pengambilan keputusan cepat.
3.Digitalisasi Sistem Pelayanan
Integrasi sistem pelaporan digital, pemantauan distribusi makanan, dan manajemen transportasi berbasis aplikasi akan membantu pemantauan real-time dan solusi cepat.
4.Manajemen Krisis dan Kontinjensi
Harus ada rencana kontinjensi (kondisi yang bisa terjadi, tetapi belum tentu benar-benar terjadi) untuk skenario terburuk, terutama dalam bidang transportasi dan logistik makanan.
5.Audit Independen dan Transparansi Kinerja
Pelaksanaan haji perlu diaudit oleh lembaga independen, baik secara logistik maupun kinerja SDM, untuk memastikan akuntabilitas.
Kesimpulannya, pelaksanaan haji 2025 menyisakan banyak pekerjaan rumah, terutama dalam hal manajemen dan kepemimpinan.
Ibadah haji bukan hanya soal spiritualitas, tetapi juga ujian nyata bagi tata kelola pelayanan publik dalam skala besar. Pemerintah dan seluruh pihak terkait perlu bergerak cepat melakukan evaluasi menyeluruh dan perbaikan sistematis agar pengalaman jamaah di masa depan menjadi lebih manusiawi, tertib, dan penuh khidmat.(*)