COWASJP.COM – HUTAN KITA MENANGIS. Lalu Tuhan pun marah. Begitulah tepatnya sindiran sebagian umat. Yang ikut menangis karena tertimpa musibah. Bergelimang duka dan airmata. Kehilangan segalanya. Tanah tumpah darah dan harta benda. Termasuk orang-orang yang dicinta.
Beberapa tahun silam, da’i sejuta umat KH. Zainudin MZ (Allahumaghfirlah) pernah menyitir sebuah narasi menarik: “Ini semua titipan. Kalau gak dijaga, yang nitip marah,” katanya.
Tentu tak ada yang bisa membantah. Kita memiliki alam yang begitu indah. Hutan-hutan yang hijau penuh berkah. Menyumbang kesejukan buat alam semesta. Di dadanya bahkan di bawah perutnya, terdapat banyak sekali harta karun dunia. Kayu-kayu alam yang tumbuh sejak ratusan tahun. Emas, intan berlian, minyak, batubara, bauxit, nikel dan sebagainya.
BACA JUGA: ADAB KETIMURAN
Kita semua punya. Di hamparan tanah yang subur. Bahkan juga di bawah kerak bumi kita. Tidak hanya di Sumatera. Tapi juga di Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi, Papua dan ribuan pulau lainnya. Kita semua punya tanggung jawab dan kewajiban yang sama. Untuk menjaganya. Melindunginya dari tangan-tangan jahat yang rakus dan tidak bertanggung jawab.
Para founding fathers kita menyadari betul adanya surga yang dilimpahkan Allah untuk kita. Karena itu mereka menetapkan aturan baku. Seperti ketentuan Pasal 33 UUD 1945, antara lain. Sebagai landasan sistem perekonomian Indonesia. Yang berdasar demokrasi ekonomi, kekeluargaan, dan keadilan sosial.
Bahwa cabang produksi penting dikuasai negara. Tujuannya tidak lain untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dan ketentuan itu pun menekankan asas kebersamaan, efisiensi, keadilan, keberlanjutan, dan kemandirian dalam pengelolaan ekonomi nasional.
Pasal ini terdiri dari beberapa ayat yang menjelaskan peran negara dalam menguasai sumber daya alam dan cabang produksi vital.
Bukan Untuk Kepentingan Individu
Terlalu sering sebenarnya kita mengulang-ulang. Membasahi bibir. Seperti para dukun melafalkan mantra-mantra untuk memohon pertolongan alam ghaib. Terutama butir ketiga dari Pasal 33 UUD 1945. Bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya “DIKUASAI OLEH NEGARA DAN DIPERGUNAKAN UNTUK SEBESAR-BESAR KEMAKMURAN RAKYAT”.
Tapi apakah kita memahami betul makna dan esensinya? Bahwa perekonomian bukan hanya untuk kepentingan individu. Tetapi melibatkan tanggung jawab bersama. Untuk kemajuan bersama. Dengan mengedepankan gotong royong dan saling membantu.
Sayangnya, semua itu hanya menjadi ketentuan yang mengambang di awang-awang. Sementara pribumi selamanya kelaparan. Mengempiskan perut, bahkan mengurut dada. Menyaksikan kekayaan alamnya diangkut. Dengan semena-mena. Selama bertahun-tahun. Dalam jumlah ribuan ton. Bahkan triliunan ton. Oleh tangan-tangan yang semestinya tidak berhak memiliki dan membawanya.
Semestinya negara menggunakan “tangan besinya”. Menghentikan praktek-praktek yang merugikan anak bangsa. Menghukum mereka yang nyata-nyata melanggar aturan itu. Lalu merampas kembali harta kekayaan yang merupakan hak setiap individu anak bangsa.
Sekali lagi, sayangnya, negara seperti dijangkiti penyakit kronis. Letoy. Tidak mampu berbuat. Untuk membetot tangan-tangan jahat yang rakus itu. Menghukum mereka dengan tegas dan keras.
Presiden Tak Kuasa
Karena itu banyak yang semestinya bertanya. Di manakah negara berdiri tegak membela? Kenapa negara tidak mampu melindungi kepentingan rakyat, sesuai ketentuan butir ketiga dari Pasal 33 UUD 1945? Mengapa rakyat yang harus menanggung akibat dari kerakusan pihak lain?
Menyaksikan apa yang berlaku di negeri kita, ternyata negara tidak punya kuasa. Bahkan presiden pun begitu. Pun para anggota dewan yang terhormat, para pejabat dari lembaga-lembaga tinggi negara, bahkan para petinggi TNI/Polri. Semua bertekuk lutut. Semua tidak berkutik.
Jangan lagi bertanya: Apakah Presiden Prabowo punya kuasa? Ternyata, TIDAK! Yang berkuasa boleh jadi Jokowi. Tapi coba dalami lagi: Benarkah begitu? Bahkan Jokowi pun tidak punya kuasa. Yang berkuasa itu James Riyadi, Antoni Salim, Martua Sitorus dan kawan-kawan. Yang mampu mengendalikan jalannya republik ini dari balik layar.
Merekalah para taipan bermata sipit yang punya kontak langsung dengan Tiongkok. Negara leluhur mereka. Yang siap membantu, melindungi dan menguras seluruh kekayaan pribumi di negeri ini. Bahkan siap mengirim jutaan rakyatnya untuk menguasai negeri ini. Suatu waktu nanti.
Inilah kekuatiran yang mulai dirasakan sebagian orang. Para aktivis, akademisi dan orang-orang pintar yang menyadari semakin rusaknya negeri. Mereka bahkan sampai pada kekuatiran bahwa cepat atau lambat negeri ini akan menjadi “indo cina”. Lalu anak cucu mereka akan jadi “jongos” di negeri sendiri.
Berharap kepada Prabowo, untuk mengatasi begitu banyak masalah, mungkinkah? Mantan tokoh intelijen, Kolonel (Purn) Sri Radjasa dalam sebuah podcast pernah mengungkapkan. Bahwa Prabowo tidak akan mampu atau bahkan tidak punya niat. “Cita-citanya untuk menjadi presiden. Kan sudah tercapai. Lalu apa lagi? Yah, itu saja,” katanya.
Miris sekali. Menyedihkan sekali. Bukan hanya hutan kita yang menangis. Kita semua menangis.(*)