KANALPojok Analisis

Dialog Lintas Generasi dalam Satu Pameran

Dialog Lintas Generasi dalam Satu Pameran
Display pameran TIGA MASA di ARTS.ID Surabaya. (FOTO: Saiful Hadjar)

COWASJP.COMINI PAMERAN  YANG MENARIK. Tiga pelukis yang berpameran memiliki rentang usia yang lumayan jauh. Ariel Ramadhan (umur 25 tahun), Arik S. Wartono (umur 50 tahun), dan Saiful Hadjar (umur 66 tahun). Latar belakang mereka yang berbeda juga menghasilkan karya-karya yang disajikan sangat beragam. Khususnya untuk Saiful, yang sudah lama jam terbangnya, dan menjelajah banyak media ekspresi.

Salah satu sosok yang menonjol adalah Ariel Ramadhan, pelukis muda berbakat yang baru saja mencatatkan pameran tunggalnya yang ke-6 —sebuah prestasi mengesankan untuk usianya. Ariel menghadirkan karya-karya yang tidak hanya indah secara visual, tetapi juga sarat makna. Dengan tema kelautan, pameran bertajuk “Segara Warna” menjadi penanda penting perjalanan artistiknya.

BACA JUGA: Ariel Ramadhan, Arik Wartono dan Saiful Hajar​

 Kali ini, dalam pameran bertiga dengan para seniornya, Ariel masih menyajikan tema yang sama. Tentang: Manusia Laut; Kehidupan Laut Dalam; Laut dalam Dua Kantong Plastik  (ini yang unik); Pergi dan Kembali; dan satu lukisan dengan tema laut juga namun dibuat dengan warna hitam putih. Judul lukisannya, “Perjuangan Hidup” menegaskan perihal ikan-ikan dalam lautan yang sedang berjuang dari predator. Pilihan warna hitam putih ini semakin menegaskan suasana yang dramatis. 

Melalui karya-karyanya, Ariel mengajak kita menyelam ke dunia laut: dunia yang memesona dengan keindahan warna dan cahaya, namun juga menyimpan kerentanan serta persoalan yang tak sederhana. Sapuan kuasnya menghadirkan panorama biru yang menenangkan sekaligus memunculkan kegelisahan. Bahwa laut, selain sebagai ruang estetika, juga adalah ruang ekologi yang menuntut perhatian dan kepedulian.

Dalam konteks inilah, karya-karya Ariel bukan hanya menjadi ekspresi pribadi, melainkan juga pintu percakapan tentang relasi manusia dengan alam. Laut dalam lukisannya menjadi metafora: luas, penuh kemungkinan, tapi juga rawan kerusakan. Publik diajak untuk tidak sekadar menikmati pesona visual, tetapi juga merenungkan tanggung jawab bersama menjaga ruang kehidupan.

Melalui karya-karyanya ini dapat menjadi titik temu: antara keindahan dan kesadaran, antara rasa kagum dan rasa peduli. Ariel Ramadhan meneguhkan langkahnya sebagai seniman muda dengan visi jelas, sekaligus mengingatkan kita bahwa seni mampu menjadi jangkar makna di tengah arus zaman.

**

Sedangkan Arik S. Wartono adalah mentor yang membentuk langkah awal Ariel. Melalui “Sanggar Daun” yang dipimpinnya, Arik telah banyak mengorbitkan pelukis-pelukis cilik hingga remaja, yang kemudian tumbuh menjadi perupa dengan gaya dan kepekaan masing-masing. 

BACA JUGA: Ariel Ramadhan Bermain Intuisi dalam Ruang Imaji (Lautan dalam Tiga Kantong Plastik)​

Sanggar ini bukan hanya ruang belajar menggambar, melainkan juga taman bagi imajinasi —tempat di mana generasi muda ditempa untuk berani mengolah warna dan gagasan. Dari rahim kreatif inilah Ariel bersama sejumlah nama lain, menemukan pijakan pertamanya sebelum menapak lebih jauh di dunia seni rupa. Arik S. Wartono meneguhkan peran pentingnya dalam menumbuhkan generasi perupa baru.

COWAS1.jpgRELIEF DZIKIR, Gouache di atas kanvas, 55x45 cm, 2025 . (FOTO: Saiful Hadjar)

Sebagai pelukis Arik menjelajahi banyak media. Namun dia juga penulis, fotografer, dan seorang aktivis lingkungan hidup. Nama sanggarnya tentu tak lepas dari kecintaannya terhadap tanaman dan lingkungan. 

Dalam pameran bertiga bersama yunior dan seniornya ini, Arik S. Wartono memilih tampilan yang berbeda. Sebagian besar karyanya bertema soal zikir. Ia menuliskan lafaz-lafaz tertentu secara berulang-ulang hingga membentuk garis-garis panjang melengkung, mengikuti pola sulur-sulur yang meliuk-liuk. Gerak repetitif itu seakan menghadirkan irama batin, semacam getaran doa yang divisualkan.

Hal ini mengingatkan pada apa yang pernah dilakukan oleh Butet Kartaredjasa, yang menyebutnya sebagai “zikir visual.” Meski demikian, tentu bukan hanya Butet yang menempuh jalan serupa. Dalam percaturan seni rupa Indonesia, praktik pengulangan teks, doa, atau mantra sebagai medium artistik juga pernah muncul pada karya A.D. Pirous, yang mengolah kaligrafi dengan sentuhan modern, atau pada beberapa perupa kontemporer lain yang menjadikan teks sebagai tubuh visual. Di ranah global, kita juga bisa menyebut karya Shirin Neshat maupun Brice Marden, yang menggarap garis, aksara, dan repetisi sebagai jalan menuju pengalaman meditatif.

Dengan demikian, karya Arik menegaskan dirinya berada pada arus pencarian spiritual yang luas, namun tetap menampilkan kekhasan pribadi. Bukan sekadar menyalin lafaz, ia menghadirkannya sebagai gerak kontemplatif. Bahwa zikir bukan hanya yang  terdengar, melainkan juga terlihat. Setiap tarikan garis menjadi denyut pengingat, setiap liukan sulur menjadi alur perenungan. Ia membawa seni rupa kembali ke ruang sunyi, ke ruang doa yang bisa dirasakan bersama.

Melalui karya-karyanya, Arik seolah menegaskan bahwa seni baginya bukan sekadar ekspresi estetis, melainkan juga praktik spiritual dan ekologis. Pilihan pada tema zikir memperlihatkan kerinduannya untuk merawat batin, sementara kecintaannya pada alam tercermin dalam cara ia menamai sanggar dan memperlakukan kreativitas seperti tanaman yang harus dirawat dengan sabar. Ada kesinambungan antara dirinya sebagai guru, aktivis, sekaligus perupa: semuanya berakar pada kesediaan untuk menyemai, menumbuhkan, dan merawat kehidupan.

Dalam pameran ini, dialog karyanya dengan Ariel dan Saiful memperlihatkan posisi unik Arik sebagai jembatan. Ia berdiri di tengah —antara semangat muda yang masih mencari arah dengan kebijaksanaan panjang seorang senior yang telah melalui banyak gelombang zaman. Zikir visualnya menghadirkan jeda, sebuah ruang hening di antara gelora laut Ariel dan kobaran api Saiful. Justru di situlah, karya-karya Arik menemukan makna: menghadirkan keseimbangan, mengingatkan kita bahwa dalam hiruk-pikuk dunia, masih ada ruang untuk merenung dan bersyukur.

Satu karya lainnya berjudul “Relief Phinisi” menyajikan tampilan yang berbeda. Demikian juga tiga lukisan pallete yang mirip dengan palet betulan sebagai alas untuk mencampur cat dalam, proses melukis. 

**

Pelukis paling senior dalam pameran ini tentu saja Saiful Hadjar. Mantan guru SMP di Surabaya ini dikenal tidak hanya sebagai pelukis, tetapi juga sebagai pejuang puisi. Ia pernah menggulirkan karya kreatif berupa SMS puisi bertajuk “Pagi Indonesia” setiap tengah malam kepada sekitar 200 temannya —sebuah ritual kreatif yang berbicara tentang harapan dan kepekaan estetik terhadap negeri yang “semakin sulit dibaca.” Puisi-puisi pendek itu lantas dibukukan dengan tajuk “Lelah Membaca Indonesia,” berisi 88 puisi pendek yang kontekstual, menggambarkan kerinduan dan keteguhan meresapi realitas bangsa melalui bait-bait sederhana nan mendalam.

Saiful juga seniman instalasi. Salah satu karyanya pernah ditampilkan dalam Festival Seni Surabaya (FSS) dengan judul Seni Rupa Instalasi Kamar Kecil di Kalimas. Bahkan tahun 1996, lelaki yang selalu memanggil “Boss” kepada teman-temannya ini pernah membawa karya instalasi dalam sebuah festival seni di Perth, Australia Barat. Tahun 2008, Saiful juga tampil dalam  performance art di Jogja National Museum. Termasuk juga, aktivis Bengkel Muda Surabaya (BMS) ini pernah membuat karya instalasi terkait Pasar Anom Sumenep di lokasi aslinya. 

Menurut catatan Abdul Malik, Saiful Hadjar juga membuat banyak karya sketsa dan esai-esai. Fotocopy bendelan kliping berjudul Sketsa Sebagai Sebuah Keberangkatan (editor: Saiful Hadjar) memuat sketsa-sketsa karyanya yang pernah dimuat harian Surabaya Post, 10 September 1989; 13 Mei 1990; Minggu 25 Oktober 1992; 14 November 1993. Beberapa esainya juga terangkum dalam bendelan kliping berwarna sampul merah tersebut, antara lain bertajuk : Realistik Bertema Sosial (Harian Umum Karya Darma, Sabtu, 18 Mei 1991); Pameran Seni Lukis dan Grafis dari Bandung: Mencoba Jauhi Kaidah-kaidah Pluralis (Harian Umum Karya Darma, Sabtu, 8 Juni 1991).

Dan yang mengagumkan, lelaki yang juga menekuni seni grafis ini ternyata masih bertahan hingga sekarang. Di tengah era serba cepat dan instan ini seni grafis menjadi barang langka. Pada umumnya seniman enggan berkarya grafis karena ribet dan prosesnya lama. Seni grafis hanya tersisa sebagai mata kuliah di perguruan tinggi seni. Satu per satu seniman grafis sudah tumbang. Dan ternyata, masih ada yang bertahan, namanya Saiful Hajar. Karya-karya grafisnya antara lain dipajang dalam pameran kali ini. Bukan hanya 6 karya yang dipajang di dinding, namun juga didislay di atas meja, berupa satu bendel dokumen grafisnya.  

Satu hal yang perlu dicatat, bahwa dalam karya-karyanya selalu termuat kritik sosial, sebagai bentuk kepeduliannya terhadap persoalan-persoalan di sekitarnya. Salah satu karyanya yang menghentak adalah berjudul: “Kamar Tidur dan Arena Perang” (Mixed media, fotografi, cat akrilik di atas kanvas).

Lukisan ini menghadirkan paradoks paling tajam dalam kehidupan manusia: ruang privat yang mestinya menjadi tempat tenang justru menjelma ladang pertempuran. Sebuah ranjang dengan bantal dan selimut batik parang rusak yang berserakan mengisyaratkan porak-porandanya rumah, kasih, dan tubuh. Motif parang rusak —yang dalam tradisi Jawa melambangkan keberanian dan perjuangan abadi— tergeletak tak berdaya, seolah tradisi dan kesinambungan hidup ikut diguncang. 

Di atasnya menjulang tonggak-tonggak merah dengan kobaran kuning bagai letusan gunung berapi, melukiskan ledakan energi destruktif yang tak terbendung. Lelehan panas yang mengalir tepat ke arah ranjang menandai bagaimana perang dan bencana publik tak lagi berhenti di luar pintu, melainkan menelusup ke ruang domestik, menghantam yang paling rapuh: cinta, keluarga, dan istirahat manusia. 

Lukisan ini, dengan segala gejolak warnanya, mengingatkan kita bahwa di negeri yang terus berperang —baik dengan sejarah, kekuasaan, maupun dirinya sendiri —bahkan kamar tidur pun tak pernah betul-betul aman dari kobaran api.

Karya lainnya berjudul: “Pagi Buta (Berbondong-bondong ke pasar)” menghadirkan lanskap yang tampak akrab sekaligus menyimpan suasana sureal. Warna hijau yang mendominasi —tak hanya tanah, pepohonan, tapi juga langit— seolah mengaburkan batas antara bumi dan angkasa, antara nyata dan batiniah. Siluet orang-orang yang berjalan di bawah sinar bulan penuh menandai pergerakan kolektif: kehidupan sehari-hari yang rutin, sederhana, tapi juga penuh misteri.

Judul “pagi buta” memberi lapisan makna ganda: pertama, menunjuk pada waktu subuh ketika orang-orang berbondong ke pasar, saat cahaya belum sempurna menerangi jalan. Kedua, “buta” bisa juga dimaknai sebagai keterserahan manusia pada kebiasaan, sebuah gerak hidup yang dijalani tanpa banyak disadari, sekadar mengikuti arus. Rembulan yang indah namun tak mampu menerangi jalan memberi penekanan pada keterbatasan: bahwa cahaya spiritual atau pengetahuan belum tentu cukup untuk menerangi realitas keras yang dijalani manusia sehari-hari.

Lukisan ini adalah sebuah perenungan tentang perjalanan manusia: bergerak bersama, mencari nafkah, mengikuti ritme hidup, meski dalam gelap dan keterbatasan cahaya. Ada lirih kesunyian di balik keramaian, ada misteri kosmik di balik rutinitas paling sederhana.

Satu lagi, lukisan  “Kucing Di Dinding (Menghadapi jalan buntu)”  barangkali terlalu panjang kalau dibahas di kolom ini.

**

Pameran tiga perupa lintas generasi ini pada akhirnya menghadirkan dialektika yang kaya: antara yang muda dan penuh gairah, yang tengah matang dengan pencarian spiritual, serta yang senior dengan kedalaman pengalaman dan keteguhan sikap. Ketiganya menyuarakan warna, bentuk, dan cara pandang yang berbeda, namun justru dari perbedaan itu muncul jalinan dialog yang saling melengkapi. Kita seakan diajak melihat perjalanan seni rupa bukan sebagai garis lurus, melainkan sebagai ruang pertemuan yang terus berkembang, berdenyut, dan saling memantulkan cahaya.

Di tengah hiruk-pikuk dunia seni yang kadang terjebak pada tren sesaat, pameran ini mengingatkan bahwa seni sejatinya adalah pergulatan panjang: antara keindahan dan kritik sosial, antara doa dan keresahan, antara pesona dan peringatan. Dari Ariel, Arik, hingga Saiful, kita belajar bahwa setiap generasi punya cara sendiri untuk bersuara, namun tujuan akhirnya tetap sama: menghidupkan kesadaran dan menjaga kemanusiaan.

Lebih jauh lagi, kehadiran tiga nama ini juga meneguhkan pentingnya kontinuitas. Seni rupa Indonesia tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari keberlanjutan dialog antargenerasi —dari guru kepada murid, dari senior kepada yunior, dari tradisi kepada eksplorasi baru. Maka, pameran ini bukan sekadar ajang memamerkan karya, tetapi juga sebuah penanda estafet: bahwa di tangan generasi muda seperti Ariel, semangat yang dirawat Arik, dan kesetiaan panjang seorang Saiful Hadjar, seni rupa akan terus menemukan jalannya. (*)

Henri Nurcahyo, penulis buku, pegiat Budaya Panji, tinggal di www.brangwetan.com


Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :