COWASJP.COM – Tulisan ini kami sajikan dalam 7 bagian:
SATU
Selasa, 12 Agustus 2025, sekitar pukul 08.00 WIB, ada yang memanggil dari luar rumah. Suaranya cukup keras. Dan ketika pintu saya buka, sosok Saiful Hadjar (lahir 30 Agustus 1959) berdiri tegak. Sosok yang sudah sekian lama tak saya temui. Sosok yang akrab dengan istri dan anak-anak saya.
"Kok, tumben muncul, ada apa?" tanya saya.
"Kesasar," jawabnya selengekan.
Ya, gaya selengekan itu adalah gaya khas Saiful Hadjar sejak dulu. Sejak saya masih main-main ke BMS (Bengkel Muda Surabaya). Dan terus mengenal KSRB (Kelompok Seni Rupa Bermain) yang dimotori Saiful Hajar sendiri.
Setelah minum kopi, terus berbicara tentang masa ini dan itu. Masa sekitar 30 tahunan dulu (tahun 1995-an), waktu saya dan Saiful Hadjar sesekali membikin acara sastra di BMS, Saiful Hadjar pun nyeletuk:
"Aku dan dua teman pelukis lainnya, akan membikin pameran. Tajuknya: Pameran Seni Rupa Tiga Masa,"
"Pameran seni rupa?"
"Ya, pameran seni rupa,"
"Loh, maksudnya?"
"Ya, pameran seni rupa. Dan tujuan utamaku sendiri adalah laku,"
"Laku?"
"Ya, laku."
Saya ngakak. Tak menyangka jika Saiful Hadjar (yang saya kenal tak suka menyinggung dunia pasar seni rupa) akan menjawab dengan jawaban yang seperti itu.
"Jika tak laku?"
"Lukisan itu akan aku buang. Dan aku akan melukis lagi. Pameran lagi. Sampai laku."
Saya pun kembali ngakak. Dan Saiful Hadjar pun tak lupa ikut ngakak. Yup, dunia pertemanan dengan Saiful Hadjar sekitar 30 tahunan dulu pun kembali saya ingat. Saat kami berjalan dari Balai Pemuda ke Daerah Tembok Surabaya. Membaca puisi di TIM Jakarta sekitar tahun 1995-an (acara Mimbar Penyair Abad 21), Malam-malam nongkrong di Balai Pemuda. Sampai pada peristiwa, Saiful Hadjar dengan seorang kawan ke Gresik ingin ketemu saya.
Tapi saya (karena cekcok dengan istri), pun ada di alun-alun. Main catur dengan para penjaga warung. Lalu entah kenapa, Saiful Hadjar dengan seorang kawan menjemput saya untuk dibawa pulang. Terus Saiful Hadjar berkata pada istri saya: "Ini suamimu. Aku bawa pulang. Sekarang bikinkan kopi, ya. Aku gak ngurus dengan urusan cekcok kalian. Dan jangan dilibatkan." Saya dan istri tersenyum. Cekcok pun memudar.
DUA
Sabtu, 16 Agustus 2025, sekitar pukul 10.00 WIB, saya menelpon Arik S. Wartono (lahir 14 Oktober 1974). Dalam percakapan telpon itu, saya dan Arik S. Wartono saling mengudar rasa. Kenapa? Karena sebelumnya saya sudah mengenal Arik S. Wartono secara pribadi. Baik sebagai pelukis, pecinta lingkungan, guru sanggar lukis, juga seorang kawan. Yang ketika berkawan pun memberi kenangan pada saya. Kenangan yang saya bawa hampir 20 tahunan. Kenangan yang ketika saya menjabat Ketua RT 006 RW 018 di Mutiara PPS Suci Gresik (2021-2024) pun menjadi pelatuk untuk berbuat. Kenapa?
Sebab, dulu saat dunia tanaman jenis Sansevieria Green Tiger berharga mahal untuk tiap daunnya, (tahun 2004-an), Arik S. Wartono memberi saya tanaman itu dalam dua daun. Terus terang saya dan istri senang sekali. Tanaman itu saya tanam di pot. Lalu berkembang. Dan berkembang. Sampai waktu saya pindah rumah ke lain kecamatan di sebuah perumahan (tahun 2010-an), tanaman itu (tentu saja sudah saya pilih), tetap saya bawa. Dan saat saya didapuk jadi Ketua RT di perumahan, tanaman itu pun menginspirasi kerja ke-RT-an saya.
PAGI BUTA. Berbondong-bondong ke pasar. Karya Saiful Hadjar. Merespon karya fotografi Arik S. Wartono.
Artinya, lewat tanaman, saya bersama bapak-bapak se-RT mencoba menghidupkan tanah tidur milik pengembang perumahan menjadi sebuah kebun. Dan kebun pun menggeliat. Dan subur. Kesuburan itulah yang mendorong saya untuk menulis beberapa tulisan, yang sebagian hasilnya digunakan membeli alat pemotong rumput, membuat sumur resapan, membangun bedak untuk sayuran seperti: sawi, bayam, atau pakcoy. Sampai mengatur lahan untuk tanaman berkayu keras: jambu, alpukat, kelengkeng, dan beberapa jenis lainnya.
Jadinya, setiap melihat kebun RT yang telah berdiri, setiap itu pula saya (sekarang saya sudah purna dari RT) teringat pada tanaman Sansevieria Green Tiger berdaun dua yang diberi oleh Arik S. Wartono dulu. Pemberian yang mungkin sederhana, tetapi imbasnya tak sederhana. Semacam gelombang yang terus bergerak dan bergerak. Menjadi semacam proses kreatif yang hasilnya tak terduga.
Nah, barangkali dari kejadian di atas, saya pun bisa memahami kenapa Arik S. Wartono menamai kelompok belajar seni rupanya sebagai Sanggar DAUN. Semacam wadah bagi pertumbuhan (simbol daun), yang apabila dirawat, akan menghasilkan hal yang luar biasa. “Yang senantiasa bolak-balik antara yang awal dan yang kelak. Yang mula dan yang nanti."
TIGA
Beberapa jam setelah saya bertelpon dengan Arik S. Wartono (Sabtu, 16 Agustus 2025), saya mendapat kiriman WA. Isi kiriman itu berupa katalog digital pameran lukis tunggal Ariel Ramadhan (lahir 13 Desember 1999) di Galeri Merah Putih Balai Pemuda Surabaya. Pameran tunggal itu bertajuk Segara Warna. Sebuah pameran tunggal ke-6 dari Ariel Ramadhan. Pelukis muda binaan Sanggar DAUN yang telah pameran bersama di nasional dan internasional.
Oleh beberapa pengamat, dikatakan bahwa Ariel adalah pelukis muda yang mempunyai daya jelajah tinggi ketika mengeksplorasi laut (lihat, hampir semua judul lukisan Ariel Ramadhan di pameran tunggal itu menyenggol nama laut) beserta persoalannya. Mulai dari yang hidup di dalamnya, sampai pada pencemaran yang diembannya. Dan yang menarik, salah satu lukisan Ariel Ramadhan yang berjudul Save the Ocean from Plastic Waste mendapat penghargaan dari Korea Selatan tahun 2022. Sebuah lukisan tentang pemandangan laut dengan kapalnya yang berada di dalam tiga tas kresek.
Tiga tas kresek yang mengingatkan saya pada semacam laut yang dapat dikemas. Dipotong. Dan siap dijajakan. Dijajakan ke siapa dan untuk apa. Dan jika sudah terjual, lalu mau diapakan. Akh, laut pun akan menjadi areal yang dipetak-petak. Yang membuat para penghuni laut pun mesti berlarian. Dan berlarian. Mencari laut yang lain.
Terus terang, saya tidak mengenal Ariel Ramadhan. Saya hanya membaca dan melihat berita dan fotonya lewat kiriman WA. Foto khas remaja yang biasa. Dengan senyum yang sedikit tersimpan. Seakan, menutupi sesuatu yang ingin minta untuk terus diberitakan, bahwa pencemaran laut (meski sedikit) bukan sesuatu yang sederhana. Sebab seperti hukum domino, satu jatuh, yang lain pun akan jatuh. Jatuh. Dan jatuh. Sampai habis.
Sampai laut bukan lagi sebagai laut. Tapi genangan raksasa yang tak lagi bisa dimanfaatkan. Akh, apa jadinya, bila kita di bumi ditinggal mati laut. Apa bisa kita mengimpor laut dari planet lain. Bagaimana bila saat mengimpor itu kita ketanggor dengan penghuni planet lain. Jangan-jangan peperangan antar planet pun terjadi. Peperangan yang melahirkan keributan semesta. Yup, inilah imajinasi yang menggoda. Imajinasi yang tersulut dari lukisan Ariel Ramadhan.
EMPAT
Minggu, 17 Agustus 2025, pukul 05.25 WIB, saya masih terjaga. Sebab semalaman saya jagongan dengan Aji (anak saya). Jagongan tentang sekian hal yang bersangkut paut dengan Pameran Seni Rupa Tiga Masa. Pameran Seni Rupa yang Insyaallah digelar mulai Minggu 24 Agustus sampai Senin 25 Oktober 2025 di ARTS.ID (Ariel Ramadhan Art Space) Surabaya.
Pameran Seni Rupa (seperti yang dikatakan Saiful Hadjar di atas), akan menghadirkan dirinya beserta dua pelukis kawannya. Pelukis-pelukis dari masa yang berbeda: Saiful Hadjar (umur 66 tahun), Arik S. Wartono (umur 50 tahun), dan Ariel Ramadhan (umur 25 tahun). Yang mana sosok ketiganya sekilas telah saya singgung di atas.
Memang, jika ada yang bertanya, kenapa dalam proses pemaknaan sebuah lukisan, sosok pelukis (pengkarya) masih dibutuhkan? Padahal, setiap lukisan yang telah selesai, pun punya nasibnya sendiri. Karenanya, ada pendapat yang mengatakan, bahwa ketika lukisan atau karya dari seorang pelukis (pengkarya) selesai, maka pelukis itu pun mati. Alias tak punya hubungan dengan karya atau lukisan yang telah dihasilkannya.
Untuk pendapat ini, terus terang saja saya kurang sepakat. Sebab, seperti keyakinan saya, setiap apa yang telah dihasilkan atau dibikin oleh seseorang (termasuk pelukis), kelak akan meminta pertanggungjawaban. Karenanya, tak heran, ada juga pendapat yang lain lagi yang mengatakan, "Hati-hatilah dengan setiap apa yang telah diperbuat (karya), sebab cepat atau lambat, ia akan mengingatkan balik."
Dan salah satu cara untuk mengingatkan itu (yang positif) adalah dengan cara membuka harapan estetika penikmat tentang kelayakan atau kesemestian sebuah karya, baik pada diri si pengkarya sendiri, atau pun pada diri orang lain yang sedang memaknainya. Jika pada pengkarya, akan lahir karya sambungan atau seri. Jika pada orang lain, akan menjadi bagian dari proses untuk direspon dengan karya yang baru. Yang versi dirinya.
LIMA
Selasa, 19 Agustus 2025, sekitar pukul 03.00 WIB dini hari, Arik S. Wartono mengirimi saya, (via WA), materi karya dua pelukis dari tiga pelukis yang akan berpameran di Pameran Seni Rupa Tiga Masa. Dua pelukis itu adalah Ariel Ramadhan dan Arik S. Wartono sendiri. Rinciannya adalah, Ariel Ramadhan dengan lima lukisan:
1. Manusia Laut
2. Kehidupan Dalam Laut
3. Pergi dan Kembali
4. Perjuangan Hidup
5. Dalam Kantong Plastik
Sedangkan, Arik S. Wartono dengan tiga lukisan:
1. Relief Dzikir Subhanallah
2. Relief Dzikir
3. Pallete 1, 2, 3.
Lima lukisan Ariel Ramadhan adalah lukisan yang bertema hampir sama yaitu tentang laut. Dan di dalam laut itu hampir semuanya diisi dengan hadirnya sesosok ikan besar (mirip ikan paus atau hiu atau apalah, pokoknya ikan besar). Yang nampang dengan gagah sekaligus (sepertinya) gelisah. Yang menarik, bila ikan besar itu berada di kedalaman (lihat lukisan Manusia Laut, Kehidupan Dalam Laut, dan Perjuangan Hidup), badannya diberi garis warna yang ngejreng atau berpendar.
Dan ini seakan sebagai penanda, bahwa meski di kedalaman laut, tapi ikan besar itu tetap bisa dilihat. Sedangkan dalam satu lukisan (Pergi dan Kembali), ikan besar itu terlihat di permukaan sambil menyemburkan air dari lubang yang ada di kepalanya. Seakan memberi tanda, bahwa bagi siapa saja yang melihatnya, harus mengakui bahwa ia memang tak hanya ada di kedalaman. Tapi bisa juga hadir dan bermuka-muka dengan siapa pun yang melihatnya. Lalu kenapa ikan besar itu kerap hadir di empat lukisan Ariel Ramadhan?
Barangkali, ini adalah sebuah kecemasan, bahwa ikan besar, penghuni laut terbesar. Yang menguasai empat penjuru laut, kini sedang turun gunung. Melihat atau menelisik, kenapa laut yang dimilikinya (dalam lukisan Ariel Ramadhan) dihadirkan dengan garis yang ngejreng atau berpendar. Garis yang mengganggu mata dan meruyak pikiran. Garis yang seperti mimpi yang jauh dan jauh. Bersilangan. Bertumpukan. Apa ini simbol dari gangguan dari hadirnya si pengganggu yang tiba-tiba nyelonong.
Ya, hanya pada lukisan Manusia Laut sajalah yang sedikit teratur, juga Laut Dalam Kantong Plastik #3, karya seri dari lukisan Save the Ocean from Plastic Waste yang telah saya bahas di atas. Lukisan Manusia Laut seperti mengikuti arah jarum jam. Bergerak ke kanan. Gerak yang menutup. Bukan membuka (ingat putaran tutup botol). Apa memang ini simbol bahwa ada yang mesti ditutup agar pengganggu yang nyelonong itu tidak terus seenaknya nyelonong. Oya jangan lupa, judul lukisan itu adalah Manusia Laut. Dan judul ini mengingatkan pada superhero dalam komik dan film DC: Aquaman. Temannya Superman dan Batman. Superhero yang bertanggung jawab atas keamanan lautan (sebab ia adalah rajanya). Keamanan yang dirindukan di dalam lima lukisan Ariel Ramadhan di pameran kali ini.
ENAM
Masih 19 Agustus 2025, tapi jam menunjukkan sekitar pukul 11.15 WIB, Arik S. Wartono kembali mengirim WA. Isinya: dua tambahan materi lukisan karyanya yang akan dipamerkan. Jadi jika awalnya, ia cuma mengirim tiga, kini ditambah dua. Jadi genap menjadi lima. Dua tambahan materi itu berjudul: Relief Pinisi dan Dzikir Mahkota Duri.
Menurut Arik S Wartono, dari lima lukisannya itu, ada yang dihasilkan lewat merespon drawing karya Ariel Ramadhan. Lukisan itu berjudul Relief Pinisi. Atau juga lukisan Palette 1,2,3 (kiriman sebelumnya). Yang oleh Arik S. Wartono dikatakan seperti ini; "Karya Pallete ini konsepnya tetap dzikir tapi lebih praktis bukan transendental. Prosesnya kanvas kecil ukuran 30x30 cm dan 30x25 cm yang dipakai oleh anak-anak Sanggar DAUN sebagai tempat mengaduk cat saat mereka melukis, lalu aku respon menjadi karyaku."
Saya tidak tahu, apakah memang ada pembagian dzikir transenden dan praktis seperti yang dikatakan Arik S, Wartono? Hmm, saya pikir itu mungkin sekadar kerendahhatian Arik S. Wartono dalam berkarya. Agar tidak terlalu rumit dalam berkonsep. Yang jelas, lewat lima lukisannya itu, Arik S. Wartono ingin apa-apa yang telah dikerjakan (dilukisnya) kembali pada dunia nun di sana tapi sedekat urat di leher. Dunia yang kerap membuat seseorang berkata: "Kenapa ada bisikan lain saat aku melangkah. Dan bisikan itu tak mau pergi, meski sudah aku coba untuk mengusirnya."
Barangkali, dalam tradisi sufistik, bisikan itulah yang kerap disebut sebagai bisikan dari dalam hati. Dari sesuatu yang ada di dalam diri. Sesuatu yang bila buram, maka buramlah apa yang dilakoni. Dan akan mengkilat, bila ia selalu digosok. Nah, atas uraian ini, maka pemaknaan saya, kata atau makna dzikir yang kerap dipakai Arik S, Wartono dalam sekian lukisannya, merujuk ke hal penggosokan ke sesuatu di dalam diri tadi. Apakah itu menggosok untuk sebuah asap atau gumpalan yang mirip jelaga (Pallete 1,2, 3). Menggosok pada semacam batu keras dan bertumpukan atau berzigzagan (Dzikir Subhanallah, Relief Dzikir, Relief Pinisi). Atau menggosok ke semacam mahkota duri (simbol kemuliaan dan kekuasaan) agar duri-durinya tak menusuk-nusuk (Dzikir Mahkota Duri).
Dan semuanya (dalam konsep lukisan Arik S. Wartono yang menggunakan kata atau makna dzikir). Seakan mengingatkan pada gambaran sebuah jalan (lebih tepatnya jalan layang yang dilihat lewat drone yang melayang), yang meski bertumpang tindih, berliukan, atau bersalipan, tapi di sekujur badan jalan itu, kata Allah, senantiasa mengisinya dalam keteraturan yang tak tertandingi (cermati lukisan Relief Dzikir Subhanaallah dan Relief Dzikir lebih detail).
Jadi, jika boleh saya umpamakan, sepertinya, Arik S. Wartono lewat pameran kali ini, ingin menyatakan, bahwa tanpa kata dan makna Allah, keruwetan atau kekerasan pada batu (pada sebuah relief) yang ada dan digunakan oleh siapa pun saat berjalan akan tetap ruwet dan keras (tidak lembut). Padahal, Allah telah mengatur dan melembutkan semuanya sekaligus menjadikannya bagi kepentingan perjalanan hidup kita semua. Kita yang tak bosan-bosan berdoa: "Hanya kepadaMu, kami bersujud. Hanya KepadaMu, kami memohon."
TUJUH
Selasa, 19 Agustus 2025, pukul 20.02 WIB, Saiful Hadjar mengirim WA pada saya. Isinya adalah tentang materi lukisannya untuk Pameran Seni Rupa Tiga Masa. Yang berupa: empat lukisan berwarna dan dua grafis yang berseri. Setelah itu saya telpon dan bertanya proses kreatif atas materinya itu. Dan jawaban Saiful Hadjar begini.
"Bos, empat lukisan yang warna itu adalah lukisanku yang merespon hasil jepretan foto. Sedang, dua grafis yang seri itu murni karyaku."
"Loh,"
"Tak usah loh. Jadinya gini. Aku melihat ada empat foto, yang dua berukuran 105x70 cm dan dua lagi berukuran 75x50 cm. Dua milik Arik S, Wartono dan dua lainnya milik Ariel Ramadhan",
"Lalu?"
"Ya, keempat karya fotografi itu aku respon dengan cara melukis langsung di permukaan foto itu. Tapi tetap masih memperlihatkan bagian penting dari fotonya. Lalu jadilah lukisan dengan judul: Pagi Buta, dan Kamar Tidur dan Arena Perang (keduanya merespon foto jepretan Arik S. Wartono), Kucing di Dinding dan Jalan Cahaya (merespon foto jepretan Ariel Ramadhan)."
Lalu pikiran saya pergi ke dua grafis karya Saiful Hadjar yang berseri itu. Yang satu berjudul Pandemi (empat seri), dan satunya lagi Dehumanisasi (tiga seri). Dua grafis berseri yang bercerita tentang sakit. Baik sakit fisik atau pun non fisik yang diderita sosok di dalam grafis. Sosok yang hitam-putih. Sosok yang bermasker tapi terasa makin sesak (Pandemi). Dan sosok yang matanya cuma melihat orang yang tubuhnya tertembus sesuatu (Dehumanisasi). Atau sosok yang bertumpukan dengan sosok-sosok lainnya. Hanya tangan-tangan saja yang kelihatan bersembulan. Semuanya pun terasa ganjil.
Akh, saya pun terngiang dengan perkataan Saiful Hadjar waktu ke rumah kemarin. Yaitu ia akan berpameran. Dan tujuannya adalah laku. Nah, jika enam karya yang penuh dengan keganjilan seperti itu dipamerkan, apa memang bisa tercapai tujuan semula, yaitu laku? Atau jangan-jangan ini adalah keironian yang ingin dibangun oleh Saiful Hadjar. Yaitu menertawakan diri sendiri atas makna kata "laku". Dan menganggap, bahwa sebuah proses kesenian (lukis) pun bisa menjadi begitu rileks. Yang tak perlu alasan ini dan itu, laku atau tidak, hanya karena merespon empat karya fotografi (hasil jepretan Arik S. Wartono dan Ariel Ramadhan) menjadi lukisan baru. Lukisan yang bercerita tentang orang-orang yang pergi ke pasar di subuh tapi bulannya seperti bulan di larut malam, kucing yang merayap di tembok persis cicak, atau mengubah sebuah kamar menjadi arena perang. (Juga terasa ganjilkah).
Ya, sekali lagi saya tersenyum. Dan sekali lagi imajinasi saya pun berputar. Dalam arti, bagaimanakah jika kini proses kreatifnya dibalik. Yaitu karya fotolah yang justru merespon grafis. Dalam arti, grafis Saiful Hadjar-lah yang kini mesti gantian menjadi dasar ketika foto hasil jepretan Arik S, Wartono atau Ariel Ramadhan yang bergerak merespon. Masih terasa ganjilkah.
Yup, pengembangan sebuah proses kreatif yang menarik.Yang bisa merambah ke situasi yang lain juga. Dan inilah yang saya sebut dengan kata rileks tadi. Sebab segalanya enteng untuk bolak-balik. Tanpa ada beban. Sebab segalanya telah dibalut oleh rasa tanggung jawab untuk selalu berproses. Dan berproses. Dan mengerti kapan mesti muncul, dan kapan pula mesti memberi ruang pada yang lain untuk balik merespon karyanya.(*)
Mardi Luhung, penulis tinggal di Gresik. Tahun 2010 meraih Anugerah Khatulistiwa Literary Award (KLA) dalam bidang puisi.