COWASJP.COM – TENTU MENGEJUTKAN, ketika Presiden Prabowo Subianto memutuskan pemberian amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristianto dan abolisi kepada mantan Menteri Perdagangan Tomas Trikasih Lembong alias Tom Lembong.
Abolisi dan amnesti adalah dua bentuk hak prerogatif Presiden yang berkaitan dengan penghapusan akibat hukum pidana. Dengan demikian baik Hasto maupun Tom Lembong langsung mendapatkan hak mereka kembali untuk dibebaskan dari penjara.
Keputusan Presiden Prabowo terhadap dua kasus hukum ini tidak ubahnya seperti pemberian air yang sejuk untuk melepaskan dahaga publik dari kecentangprenangan penegakan hukum sejauh ini. Boleh jadi ini adalah ketegasan presiden menghadapi badai manuver orang-orang yang selalu berusaha menghambakan diri kepada Jokowi.
Bagaimanapun penanganan kedua kasus ini terkesan berlarut-larut, di bawah sorotan perhatian publik dan ditengarai penuh kepentingan politik. Terkesan penuh rekayasa hukum dan jauh dari penerimaan akal sehat publik.
Menurut Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, ada dua pertimbangan yang menyebabkan dirinya mengusulkan hal itu kepada Presiden.
BACA JUGA: Indonesia Cerah atau Gelap?
Pertama, demi kepentingan bangsa dan negara.
Kedua, untuk menjaga kondusivitas dan merajut rasa persaudaraan di antara semua anak bangsa.
Apa yang diungkapkan Menteri Hukum itu tak pelak membenarkan pandangan sebagian kalangan selama ini. Bahwa kedua kasus itu paling tidak telah menunjukkan adanya pembelahan di masyarakat. Mengakibatkan tidak terciptanya kondusivitas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Melahirkan pro kontra yang tidak berkesudahan.
Sesuatu yang selama 10 tahun pemerintahan Jokowi cenderung dipelihara.
Kasus Demi Kasus
Selama 10 bulan berjalannya pemerintahan Presiden Prabowo, tentu kita dapat menyaksikan telah terjadi sejumlah gangguan yang dihadapkan pada pemerintahan ini. Meski demikian, Prabowo terkesan cuek dan tidak cepat tanggap. Lebih suka mendekatkan diri kepada Jokowi ketimbang menyokong aspirasi publik.
BACA JUGA: Kabur Aja Dulu! Betulkah?
Pertama, kasus pencopotan jabatan Letjen Kunto Arief Wibowo sebagai Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I, 29 April 2025. Yang satu hari kemudian (30 April 2025) dinyatakan dibatalkan.
Pencopotan ini dikaitkan orang dengan sikap ayahnya, mantan Wakil Presiden Try Sutrisno.
Seperti diketahui, Try Sutrisno ikut menandatangani tuntutan Forum Purnawirawan TNI untuk pemakzulan Wapres Gibran Rakabuming Raka.
Kedua, soal 4 pulau Aceh yang ditetapkan sebagai wilayah Sumatera Utara oleh Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, melalui Kepmendagri yang terbit pada 25 April 2025. Keempat pulau itu adalah Pulau Panjang, Pulau Lipan, Pulau Mangkir Gadang, dan Pulau Mangkir Ketek. Hal ini telah memancing reaksi keras dari rakyat dan gubernur Aceh Muzakir Manaf alias Mualem.
Ketiga, soal tanah menganggur yang akan diambil alih negara. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 20 Tahun 2021 tentang Penertiban Kawasan dan Tanah Terlantar. Dalam hal ini, disebutkan bahwa pemerintah memiliki wewenang untuk mengambil alih tanah yang tidak dimanfaatkan (nganggur) selama lebih dari 2 tahun.
BACA JUGA: Rakyat Jelata Menjerit
Keempat, soal pembekuan rekening bank yang tidak aktif atau dormant selama tiga sampai 12 bulan oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Barulah setelah Kepala PPATK Ivan Yustiavandana dipanggil presiden, pembekuan itu dibatalkan.
Campur Tangan Presiden
Melihat sejumlah kasus seperti di atas, tampaknya presiden tidak boleh tinggal diam. Presiden diharapkan bertindak lebih cepat.. Karena sikap dan keputusan presiden seperti dalam mengatasi keempat persoalan di atas, kehebohan-kehebohan yang tidak perlu dapat dihilangkan. Apalagi kehebohan-kehebohan yang diakibatkan para pembantu dalam pemerintahannya sendiri.
Karena itu, bukankah semakin sering dilontarkan tuntutan berbagai kalangan agar presiden melakukan reshuffle kabinet? Mengganti menteri-menteri dan pejabat yang tidak kompeten. Yang dalam beberapa hal justru merepotkan Prabowo sendiri. Terutama karena menteri-menteri yang lebih melihat Jokowi bosnya, bukan Prabowo. Menteri-menteri yang “main dua kaki”, baik atas kemauan sendiri dengan maksud “menjilat” kepada Jokowi. Atau, boleh jadi menurut sebagian kalangan, memang pesanan dari mantan presiden itu.
Semua itu di mata publik merupakan tindakan-tindakan yang merecoki pemerintahan Prabowo. Tapi kesannya sang presiden seperti tidak peduli. Sehingga keputusasaan publik semakin meningkat. Alih-alih menindak tegas para menteri yang “mbalelo”, presiden malah dengan lantang meneriakkan slogan “hidup Jokowi”.
Banyak yang bertanya: Apakah presiden begitu takutnya kepada Jokowi? Apakah semua itu dilakukan sebagai upaya balas budi kepada Jopkowi? Atau, benarkah ini merupakan strategi politik sandi yudha, seperti dikemukakan pakar politik dan militer Slamet Ginting? Yakni masuk melingkar ke internal Jokowi, kemudian mengakomodasi keinginan Presiden RI ke-7 itu, untuk kemudian melepaskan diri perlahan-lahan.
Betapa pun benar teori itu, rasanya kesabaran publik sudah semakin menipis. Rakyat sudah muak melihat tari-tarian gemoy dan lenggang-lenggok Prabowo, bagaikan pemain bola yang terus mengocek bola ke kiri dan kanan, ke depan ke belakang, tapi tidak kunjung menciptakan gol.
Sudah saatnya Prabowo menunjukkan jati dirinya, dengan melepaskan diri dari segala bentuk pengaruh Jokowi. Memerintahkan penegakan hukum yang adil dan transparan. Menumpas segala bentuk kegiatan korupsi. Dan membangun kegiatan perekonomian yang menguntungkan rakyat banyak.(*)