COWASJP.COM – Penulis adalah mantan wartawan Jawa Pos, sejak 1970-an sampai pensiun awal tahun 2000-an. Kini penulis mengasuh Majalah Jayabaya. Walaupun telah lama pensiun, namun kecintaannya kepada Jawa Pos tak pernah luntur. Inilah tulisan beliau menyambut HUT Jawa Pos ke 76:
**
SETIAP hari tahun 1975-an sekitar pukul 12.30 WIB, di sebuah gedung, Jalan Kaliasin, Surabaya -- kini Jalan Basuki Rachmad -- terdengar suara mesin cetak. Di tempat inilah koran harian pagi Jawa Pos dicetak dan distribusikan.
Pemilik Jawa Pos, Bapak Te Chung Seng (Om Te). Dia bersama istrinya yang cukup akrab dipanggil Tante Te berbisnis koran. Tepatnya diterbitkan tanggal 1 Juli 1949. Ada koran harian pagi Jawa Pos. Dan ada Indonesian Daily News. Koran yang akrab dengan singkatan IDN. Koran berbahasa Inggris tersebut satu-satunya yang terbit di Jawa Timur.
Harian Jawa Pos di kota Pahlawan ini merupakan koran nomor dua di Jatim. Sementara, harian sore Surabaya Post di zamannya koran terbesar di Jatim.
BACA JUGA: Arek-Arek Mantan Jawa Pos Kekeuh: Kembalikan 20℅ Saham Hak Kami
Jawa Pos (JP) cukup rangking kedua. Sebab, oplahnya tidak banyak. Maaf hanya sekitar 1.500 eks/per hari. Bila didistriusikan ke lapak bursa koran hanya cukup diangkut dengan satu becak. Bahkan, sempat jadi “guyonan” oplah koran satu becak.
Sementara koran pesaing Surabaya Post oplahnya hampir 100 ribu eks setiap hari.
Oplah JP sekitar tahun 1976 tidak bisa bergerak. Tidak bisa menambah oplah. Apalagi tanpa ada iklan display dan iknan mini. Hal ini saggat pengaruh dalam berbisnis media cetak.
BACA JUGA: Kasus Saham Karyawan Jawa Pos Dilaporkan ke Menko Polhukam Mahfud MD
Tanpa ada Iklan, bisnis koran membawa dampak bagi pembaca. Selain berita yang menarik dan aktual. Pelanggan yang tidak fanatik enggan membaca JP. Karena itu, pelanggan fanatik saja yang menjadi andalan JP.
Sekitar tahun 1976 merupakan masa suram bagi JP. Oplah stagnan. Banyak pelanggan tetap berhenti langganan JP. Belum lagi mutasi dari agen, dan penjual koran di lapak.
Minar dan Menkopolhukam Mahfud MD. (FOTO: COWAS JP)
Goyonan JP koran satu becak memang beralasan.
Kala itu, komandan distribusi adalah Bambang Asmoroyanto, kini usianya 86 tahun. Dia sekarang tinggal di kawasan Tangerang, Banten.
Owner JP Om Te dan Tante di tahun 1976 usianya menginjak lansia. Koran IDN yang dibanggakan tumbang. Semua karyawannya ditampung di JP.
Mantan karyawan IDN hijrah ke Jawa Pos. Misalnya, Yos Nurcahyo, Pak Singgih, Sriyono, Tante Tupan. Mereka sudah almarhum. Hanya Bu Wenny (kini jadi salah satu pemegang saham JP) yang masih aktif di JP.
Pak Karmaun kepala percetakan JP pun sudah meninggal dunia.
Harian JP yang jadi goyonan koran satu becak masih dicetak dengan mesin rotasi. Sebuah mesin cetak koran buatan Jerman. Sebelum ada mesin cetak offset. Mesin cetak rotasi merupakan mesin koran andalan pada zamannya. .
Om Te, kala itu tidak mengikuti perkembangan teknologi. Penerbit media cetak lainnya tahun itu sudah menggunakan mesin cetak offset. Misalnya koran nasional Kompas dan Sinar Harapan.
Sementara putra lelaki pasangan Om Te dan Tante, ogah meneruskan bisnis media cetak. Sebab, putra Om The lebih senang tinggal di luar negeri. Akibatnya JP, Om Te tidak memiliki semangat untuk meningkatkan bisnis medianya. Atau JP dianggap perusahaan media yang “mati suri”.
JP yang merupakan koran legendaris di Jatim bernasib apik. Tahun 1982, PT Grafiti (pemilik majalah Tempo) jadi dewa penolong. Pak Eric Samola bersama Pak Dahlan Iskan diterjunkan untuk membenahi Jawa Pos.
Manajemen baru pun mulai bergerak. Semangat kerja para karyawan ditingkatkan.
Mulai dari redaksi, marketing, iklan dan admin dirombak total. Para karyawan diberi semangat : Kerja..Kerja..Kerja!
Alhamdulilah dalam waktu beberapa tahun JP tidak lagi menjadi guyonan koran oplah satu becak. Oplah melejit tumbuh secara signifikan. Empat tahun kemudian, tahun 1986, oplah JP tembus 100.000 ex per hari. Luar biasa!
Kesejahteraan karyawan mendapat perhatian penuh. Bonus dan deviden tiap tahun cair tanpa kendala. Lancar tanpa menunda waktu. Bahkan manajemen memperhatikan Peraturan Menteri Penerangan RI. Waktu itu menterinya Harmoko. Perusahaan penerbit media cetak wajib menyisihkan saham 20 persen untuk karyawan.
Zaman memang cepat berganti (zaman wis owah gingsir - Bhs Jawa). Direksi pun juga berganti setelah Pak Eric Samola wafat tahun 2000. Aturan pun berganti, tanpa mengingat sejarah. Tidak ada lagi Pak Eric yang begitu memperhatikan kesejahteraan para karyawan.
Di saat Ulang Tahun ke 76 Jawa Pos, 1 Juli 2025 apakah hak saham karyawan 20 persen masih ada? Ke mana larinya? Semoga JP masih menjadi koran kebanggaan masyarakat Jawa Timur. Selamat Ulang Tahun ke 76.(*)