COWASJP.COM – Banyak cerita menarik dan ilmu yang daging semua saat kita ngobrol dengan Prof Dr Kamir Raziudin Brata. Selain salah kaprah soal biopori dan lubang resapan biopori, ilmu tentang tanah, air permukaan dan kehidupan di dalam tanah juga disampaikannya. “Seperti kuliah satu semester,“ seloroh Michael Lie yang ikut menyimak.
Mike –begitu ia biasa disapa—adalah Direktur di Kharisma Plastikindo yang beberapa waktu lalu menerima penghargaan dari Wamen Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono. Penghargaan diterima karena perusahaan ini telah mengekspor sedotan dan kantong dari cassava (singkong) ke Jepang. Bahannya disuplai dari petani singkong di Cikarawang, Kecamatan Dramaga, Bogor. TIdak jauh dari kediaman Prof Kamir.
Kami memang datang ke rumah Prof Kamir berombongan. Selain Mike ada ayahnya, Hermanto yang sangat perhatian dengan isu lingkungan. Atas rekomendasi Bu Sri Bebasari, Hermanto diberi akses untuk bertemu dengan Prof Kamir. Hermanto berkepentingan bertemu Prof Kamir karena ingin mengadakan “Gerakan Sejuta Biopori“ di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
BACA JUGA: “Program Mbah Dirjo Begitu Kan? Hahaha….“
Prof Kamir menyambut baik program ini. Sekaligus untuk menerapkan konsep lubang resapan biopori yang benar. Prof Kamir pun siap diundang ke Yogya menyampaikan perihal biopori ini. Agar kesalahpahaman bisa dikurangi dan manfaat lubang resapan biopori bisa benar-benar optimal.
“Banyak yang tidak tahu, tapi berkomentar dan menyebarkan hal-hal yang keliru. Saya sering ditertawakan saat mengajukan program lubang resapan biopori ini. Ada yang menuding itu akan merusak tanah, tanah rawan longsor, membuat sumur tercemar dan sebagainya. Yang semuanya tidak terbukti,“ tegas Prof Kamir.
Padahal, teknologinya ini bukan hanya mampu mengatasi banjir, kegunaan lainnya mencegah erosi dan longsor, meningkatkan cadangan air bersih, penyuburan tanah dan mengubah sampah organik menjadi kompos sehingga mengurangi emisi gas metan yang jauh lebih kuat dalam menyebabkan pemanasan global dibandingkan gas karbondioksida.
Manfaat tersebut telah teruji secara ilmiah di lahan percobaan sejak tahun 1993, maupun secara empiris di berbagai tempat yang sudah menerapkannya dengan benar. Itulah sebabnya Kamir mendapatkan penghargaan Kalpataru tahun 2015 untuk inovasi teknologi berupa Lubang Resapan Biopori (LRB) ini.
Pria kelahiran Cirebon, 12 Desember 1948 ini lantas berkisah soal ide-idenya yang sempat diminta sejumlah kepala daerah untuk diterapkan. Mulai dari saat Gubernur DKI Jakarta dijabat oleh Foke (Fauzi Bowo) hingga Ahok (Basuki Tjahaja Purnama). Program sejuta biopori yang dia usulkan dianggap tidak pas karena tanah di Jakarta dinilai sudah jenuh. Tak perlu lagi resapan penahan air.
Menurut Prof Kamir, tanah Jakarta masih butuh lubang resapan biopori untuk menahan air dan sekaligus mengelola sampah organik. Penilaian bahwa tanah di Jakarta sudah jenuh air menurutnya tidak benar. Tanah di Jakarta masih berwarna merah dan hitam. Tanah yang jenuh itu berwarna abu-abu.
Dengan lubang resapan biopori yang banyak, kondisi tanah akan stabil. Menjaga air tanah baik saat musim hujan maupun kemarau. Dalam hitungannya, dibutuhkan 76 juta lubang resapan biopori untuk Jakarta. Atau setidaknya 28 buah untuk setiap rumah atau satu keluarga. Dengan konsep ini, masalah sampah pun akan tertangani dengan lebih baik.
Lubang Resapan Biopori di halaman rumah Prof Kamir
Hal yang sama juga disampaikan oleh Prof Kamir saat ditanya untuk mengatasi sampah pasar yang jumlahnya bisa 100 ton/hari dan kini menjadi masalah di Jakarta. “Bangun saja lubang resapan biopori di setiap lapak. Memutari lapak. Sehingga sampah yang dihasilkan dari pedagang langsung masuk ke lubang resapan biopori. Jika ini dirancang sejak awal pembangunan pasar, tak akan muncul masalah sampah,“ jawabnya.
Dalam praktik memanfaatkan lubang resapan biopori (LRB), Prof Kamir memang konsisten dan totalitas. Semua jenis sampah organik masuk. Sampah organik yang selama ini dilarang oleh para pelaku pegiat sampah untuk masuk biopori seperti kulit durian, tulang ayam, maupun kulit kacang, tak ada yang ditolak. Semua masuk LRB yang lebarnya 10 cm itu. Semua akan bisa diproses oleh makhluk di dalam tanah.
Ya memang akan lama untuk kulit duren atau tulang. Tapi, tetap akan tertangani oleh mekanisme bawah tanah. “Kan mudah saja, kalau panen komposnya, masih ada tulang, atau kulit durian, ya tinggal masukkan lubang lagi. Lama-lama kan terurai juga, “ ujar dosen ilmu tanah, air dan konservasi lahan dari IPB ini. (*)