KANALPojok Analisis

Jasmerah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah

Jasmerah: Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah
Bang Yos -- sapaan Letnan Jenderal TNI (Purn.) Dr. (H.C.) H. Sutiyoso, S.H.(FOTO: idea.grid.id)

COWASJP.COM – JASMERAH. Jangan Sekali-kali Meninggalkan Sejarah. Begitulah semboyan terkenal yang diucapkan oleh Presiden Soekarno, dalam pidatonya yang terakhir pada Hari Ulang Tahun (HUT) Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1966.

Sayangnya, anak bangsa ini sepertinya tidak terlalu peduli dengan semboyan itu. sehingga berkali-kali harus terjerembab dalam kubangan lumpur sejarah. Seperti keledai, yang berkali-kali terperosok ke dalam lubang yang sama. Sehingga tidak menyadari siapa dirinya dan siapa musuh yang sebenarnya. Dari dulu hingga kini. 

Ketika mantan petinggi intelijen militer Sutiyoso mengatakan kekhawatirannya terhadap membanjirnya Tenaga Kerja Asing (TKA) Cina, banyak yang mencibirkannya. Menganggapnya rasis. Dan menyebut kekhawatirannya itu tidak beralasan. Dirinya bahkan diancam akan dipolisikan. Karena dituduh telah menebar kebencian dan rasisme.

Bang Yos – demikian mantan Gubernur DKI Jakarta itu akrab disapa – menyatakan keyakinannya. Bahwa para TKA Cina itu tidak akan kembali ke negaranya. Mereka akan menetap dan beranak pinak di sini. Sementara ribuan lainnya akan terus berdatangan. Membanjiri negeri ini. Dan suatu saat jumlah mereka bisa ratusan juta. Melebihi jumlah penduduk pribumi yang bertumpah darah di negeri ini. 

Singapura merupakan sebuah bukti nyata. Dikuasai etnis Cina dan membuat kaum pribumi Melayunya tersingkir dari kemajuan negara. 

Bahkan Malaysia pun pernah menghadapi ancaman yang sama. Yang melahirkan kekhawatiran para pemimpin pribumi. Ketika jumlah imigran Cina terus meningkat dan partai-partai yang mereka dukung pun terus meraup suara yang semakin besar dalam pemilu (pilihan raya). 

Dan sama seperti yang dihadapi bangsa Indonesia saat ini, keberadaan etnis keturunan China di Malaysia juga diperkuat dengan status sosial, ekonomi, maupun politik yang rata-rata lebih tinggi dibandingkan dengan pribumi. Dan menyusul era reformasi 1998, mereka tidak hanya menguasai bidang bisnis dan ekonomi secara umum. Tapi juga mulai berpolitik dan mendirikan partai politik. 

Bahkan para konglomerat Cina alias Tionghoa yang disebut-sebut sebagai oligarkhi ekonomi diyakini sejumlah kalangan telah berhasil menguasai bidang politik. Karena kemampuan mereka mengendalikan arah kebijakan penguasa. Termasuk mengarahkan lahirnya undang-undang.

Sebab itu, selayaknya anak bangsa ini mengingat kembali semboyan Bung Karno: Jasmerah. Jangan meninggalkan sejarah. 

Sejarah Singapura sudah jelas. Dulu, negeri itu adalah milik pribumi Melayu. Tapi sekarang mereka hidup seperti orang asing di negeri leluhurnya sendiri. Hanya berjuang untuk bertahan hidup di daerah pinggiran. Karena tidak mampu membeli atau menyewa flat di pusat kota, yang buat mereka sudah terlalu mahal. 

Sementara itu, Malaysia juga pernah mengalami kondisi yang sama. Bahkan sebelum pecahnya kerusuhan rasial 13 Mei 1969, sejumlah pemimpin puak Melayu sudah mengkhawatirkan ancaman etnis Tionghoa. 

Kerusuhan itu dipicu oleh ketimpangan sosial ekonomi yang kian melebar. Ketika semua sektor ekonomi dikuasai Cina. Dan saat pilihan raya 1969, partai yang didukung Cina pun memperoleh kemenangan besar. Dan mereka pun melakukan provokasi, berkonvoy secara besar-besaran. Dengan membawa sapu. Simbol penguasaan, menyapu bersih pribumi Melayu.

Karena itu Tun Abdul Razak sebagai salah satu pemimpin puak Melayu mengambil keputusan untuk minta bantuan pemimpin Indonesia Soeharto. Agar penguasa Orde Baru itu mengirimkan ribuan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) secara diam-diam alias rahasia  ke Malaysia. Dengan kualifikasi: Harus beragama Islam dan rajin sholat lima waktu.  

Akhirnya, dalam misi senyap itu, Soeharto mengirimkan ribuan TKI. Mereka kemudian diberi hak dalam pilihan raya. Sehingga kejayaan partai pro-Melayu pun kembali menjulang. Tapi meskipun kalah, ancaman dari kekuatan politik dan ekonomi Cina di Malaysia tetap tidak bisa dianggap enteng.

Ketika penulis buku “the Malay Dilemma” (Dilema Melayu), Tun Dr. Mahathir Muhammad, muncul sebagai perdana menteri, kondisi sosial politik dan ekonomi puak Melayu di negeri itu pun terus membaik. Buku itu merupakan manifesto keyakinan politik Mahathir, yang menganalisis sejarah dan politik Malaysia berbasiskan ras. Dengan menegaskan bahwa Malaysia adalah negeri kaum Bumiputera (pribumi) yang menganut agama Islam. Yaitu kelompok etnis yang diberi privilege oleh pemerintahan Mahathir dalam membangun kemajuan berbangsa dan bernegara di negeri jiran itu. 

KONDISI TERBALIK

Melihat apa yang berlangsung di Indonesia saat ini, tentu terasa lucu dan menggelikan kebijakan yang ditempuh pemerintah. Khususnya terhadap persoalan membanjirnya TKA Cina. Kondisinya begitu terbalik dengan apa yang berlangsung di Malaysia. 

Bila dulu Tun Abdul Razak minta bantuan Soeharto dalam menghadapi ancaman Cina, pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Menkomarves Luhut Binsar Panjaitan (LBP) sebagai motor penggeraknya, justru membiarkan masuknya TKA Cina sebanyak-banyaknya ke negeri ini. Seperti diungkap Sutiyoso dan sejumlah aktifis lainnya. 

Padahal dalam perjalanan sejarahnya, bangsa ini – terutama umat Islam – sudah berkali-kali dikhianati. Bagaimanapun, para pengusaha Cina adalah kaki tangan kolonial dalam memungut pajak terhadap kaum pribumi. Lalu setelah merdeka – di bawah pemerintahan Orla Soekarno dan Orba Soeharto – mereka pun mampu menyiasati situasi. Di zaman Soekarno menjadi presiden dulu ribuan orang Tionghoa dipulangkan ke daratan Tiongkok. Ing ing mari pulang ke negara Cina. Begitulah nyanyian yang sempat beredar kala itu. 

Bukan rahasia lagi, di awal kekuasaannya Soeharto dikelilingi oleh para elit pemerintahan Orba dan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) yang didominasi Katolik dan Kejawen. Dan mereka begitu dekat dengan para pemikir dan aktifis dari para pengusaha besar Cina. Seperti kakak beradik Liem Bian Khoen (Sofjan Wanandi), Liem Bian Kie (Jusuf Wanandi), Hary Tjan Silalahi dan lain-lain. Mereka mendirikan “Centre for Strategic and International Studies” (CSIS) pada 1971. Sebagai think tank yang mengarahkan kebijakan anti Islam penguasa. 

jas-merah.jpgMantan Gubernur DKI Jakarta sekaligus Eks Kepala BIN Sutiyoso bersama Kepala BIN Jenderal Budi Gunawan, 25/2/2021. (FOTO: Biro Pers Istana - suara.com)

Setelah 20 tahun berkuasa, Soeharto yang digelari Bapak Pembangunan itu telah menciptakan begitu banyak konglomerasi Cina. Yang diberinya privilage. Berupa fasilitas dan berbagai kemudahan dalam mengembangkan bisnis. Sehingga mereka menjadi pengusaha-pengusaha raksasa. 

Tapi ketika Soeharto meminta mereka agar menyisihkan 1-2,5% keuntungannya untuk membantu pengembangan UMKM dan pengusaha pribumi, mereka serempak menolak! Karuan saja, Soeharto kecewa. Sebelumnya dia berharap konglomerasi Cina mau membantu membesarkan pengusaha pribumi seperti konglomerasi di Jepang dan Chaebol di Korea Selatan. 

Meski demikian, Soeharto mulai menyadari keadaan. Mulai mendekat kepada umat Islam. Yang didahului dengan masuknya Ibu Tien Soeharto jadi muallaf. Berangkat haji. Raja Arab Saudi Fahd bin Abdul Aziz awalnya tidak suka Soeharto, karena dianggapnya memusuhi umat Islam. Tapi di musim haji itu dia justru  meyambutnya dengan hangat dan tangan terbuka. 

Soeharto menyadari pengkhianatan konglomerat Cina yang tidak tahu terimakasih dan balas budi. Karena itu dia mulai membesarkan pribumi. Antara lain  mendorong lahirnya Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI). Para pengusaha muda pribumi mulai bermunculan. Seperti  Siswono, Arifin Panigoro, Aburizal Bakrie, Fahmi Idris, Fadel Muhammad dan lain-lain. 

Tapi para pentolan konglomerasi Cina tidak suka dengan kebangkitan pengusaha pribumi. Karenanya konspirasi CSIS-Konglocina-Jendral merah yang anti Islam mulai merancang strategi untuk menjatuhkan Soeharto.  Padahal, waktu itu, Indonesia sudah menjadi Macan Asia Baru. Dengan kondisi politik yang stabil dan ekonomi tumbuh lebih dari 6%. Masuk Top Growth di dunia. 

Pada awal April 1988 ada rapat rahasia tokoh-tokoh Cina, pentolan-pentolan CSIS dan jenderal-jenderal TNI–AD. Kelompok ini merasa semakin tersisih dari pusat kekuasaan Orde Baru. Setelah Soeharto menyadari keadaan dan lebih merapat kepada umat Islam. 

Melalui kebijakan Pakto 1988, Menkeu JB Sumarlin yang merupakan keluarga Ibu Tien memberikan kemudahan pendirian bank. Dengan modal Rp 10 milyar orang bisa mendirikan bank. Sehingga ratusan bank berdiri dalam tempo singkat. Dan 99% adalah milik konglo Cina. Yang pada 1995-1997 mengaku kesulitan likuiditas. 

Faktanya, 95% dari puluhan bank milik bankir Cina sengaja membangkrutkan diri. Sehingga BI terpaksa mengucurkan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Yang kemudian mereka kemplang beramai-ramai. Sebagian besar dananya dilarikan ke luar negeri. 

Indonesia terjerembab dalam krisis ekonomi moneter yang besar. 

Kekuasaan Soeharto mulai goyang. Kerusuhan meruyak. Memaksanya mengundurkan diri pada 21 Mei 1998. Era reformasi dimulai. Konglomerasi Cina justru meraih peluang yang lebih besar. Bahkan dianggap mampu mengendalikan kebijakan penguasa. 

Lihat sejarah! Masa Orla, mayoritas cina berafiliasi dengan PKI dan terlibat G30S/PKI. Ratusan ribu cina komunis diusir dari RI. Awal Orba sebagian besar cina diberi amnesti dan dijadikan mitra utama sektor ekonomi. Kini, situasi dan kondisinya seperti apa? Silahkan anda jawab sendiri!(*) 

Bandung, 26 Juni 2022.


Pewarta : -
Editor : Slamet Oerip Prihadi
Sumber :