COWASJP.COM – Benar kata pepatah. Pengalaman adalah guru yang paling bijak dan top. Mengalami langsung, tret-tet-tet langsung, banyak pelajaran berharga yang kita petik.
Kita bisa menjadi saksi langsung bagaimana ledakan penonton yang terjadi di hari balapan, Minggu pagi 20 Maret 2022. Fasilitas luar biasa dari pemerintah berupa 350 bus kelas pariwisata gratis untuk angkutan para penonton dari Mataram ke Mandalika pergi-pulang seolah tak berdaya.
Bus-bus itu disiagakan untuk angkutan pergi pulang dari pagi sampai malam.
Dari Mataram start di bandar udara lama yang nggak dipakai lagi. Fasilitas hebat ini masih berjalan dengan baik dan cukup lancar di hari free practice Jumat 18 Maret dan hari perebutan pole position Sabtu 19 Maret 2022. Buktinya, saya dan tiga teman dari Sidoarjo dan Surabaya masih bisa naik bus gratis pergi pulang Sabtu 19 Maret.
Akan tetapi, di hari balapan Minggu 20 Maret yang antre di bandar udara lama Mataram membludak. Sejak pagi. Ribuan orang antre masuk bus. Per deret sekitar 10 orang, dan panjangnya sekitar 150 meter. Dan penonton masih terus berdatangan
Yang sudah antre berdesak-desak. Tidak ada yang namanya jaga jarak. Lama harus berdiri di bawah terik matahari. Akibatnya ada yang sampai jatuh pingsan.
Ketegangan telah terjadi sebelumnya. Yang tertib antre berteriak-teriak memprotes petugas karena banyak yang nyerobot. Bus belum sampai di tempat antrean, ada yang mencegat dan menaikinya langsung tanpa antre.
Kacau. Padahal datangnya bus tidak bareng berderet. Satu bus datang, bus lainnya masih harus nunggu sekitar 15 menit lagi.
Para petugas tampaknya belum terlatih menghadapi ledakan penonton yang luar biasa ini.
BACA JUGA: Berkat Bantuan Karna Semua Urusan Lancar
Perjalanan dari Mataram ke Mandalika harus merambat. Saking banyaknya kendaraan yang menuju Mandalika. Ini yang mungkin tak diperhitungkan oleh penyelenggara.
"Baru kali ini pak Mataram dan Mandalika membludak seperti ini," kata seorang asli Mataram.
Dari kiri: Pak Bambang Setiawan, Pak Junaidi Achmad, Pak Hasyim Afandie, Slamet Oerip Prihadi (penulis). Di bandara lama Mataram, Sabtu 19 Maret 2022. Penonton belum membludak. (FOTO: Arifin Achmad)
Rasanya ngeri juga bagi orang usia lebih 70 tahun untuk antre bus gratis. Kalau situasinya seperti ini. Jangan-jangan saya dan Pak Bambang pingsan sebelum dapat bus.
Kami berangkat dari perumahan Bale Pelangi, Sandik, Mataram -- rumah Pak Hasyim Afandie -- diantar Pak Hasyim dengan Taft. Pak Hasyim hanya ngedrop kami, kemudian pulang ke Bale Pelangi. Seperti kemarin (19 Maret).
"Wah, kalau situasinya seperti ini, kita terpaksa minta tolong Pak Hasyim mengantarkan sampai Mandalika," cetus Pak Bambang memberikan solusi.
"Setuju! " kata saya spontan.
Pak Junaidi dan Pak Arifin juga sepakat. Tidak ada jalan lain yang lebih baik. Maka, Pak Junaidi pun menelepon Pak Hasyim untuk berkenan mengantar kami ke Mandalika.
Alhamdulillah, Pak Hasyim siap membantu. Terima kasih Pak Hasyim.
Sebenarnya Pak Hasyim nggak suka nonton MotoGP. Beliau sukanya musik dan band. Beliau memang pernah punya grup band di Mataram. Tapi demi sahabat beliau siap mengantarkan. Luar biasa.
Perjalanan Mataram - Mandalika, sekitar 50 km, ditempuh lebih dari dua jam saking padatnya kendaraan. Sebelum mendekati Sirkuit Mandalika kami belok ke kanan. Karena macetnya semakin parah.
Lebih baik belok kanan ke jalan yang longgar karena bukan alur ke Sirkuit.
Kami berhenti dan parkir di pasar tradisional yang Minggu 20 Maret itu tutup. Mobil bisa diparkir di situ. Lantas kami cari warkop. Ngopi sambil mikir. Bagaimana caranya bisa menonton balapan?
Sebenarnya kami sudah dekat dengan Sirkuit, tapi masih ada beberapa tahap pemeriksaan kalau lewat jalur tiket. Macetnya minta ampun. Antrenya minta ampun. Bisa-bisa ketika kami sampai di area tiket biru, balapan sudah rampung.
Perlu dicatat, area tiket gelang warna biru yang disebut general admissions itu tidak berupa tribun. Area itu hanya berupa hamparan tanah datar yang baru dikeruk. Tergenang air di beberapa tempat karena Jumat malam hujan cukup lebat.
Area itu tidak berbentuk terasering agar yang di belakang bisa menonton jelas ke Sirkuit. Benar-benar mendatar. Karena itu ribuan penonton tiket biru harus berjajar memanjang di tepi dataran. Yang dekat Sirkuit agar bisa nonton dengan jelas.
Mungkin dataran inilah yang rencananya akan dibuat tribun dengan kapasitas 130.000 penonton. Sekarang masih baru dikeruk.
Tapi Minggu 20 Maret siang ini kami tidak mungkin ke area tiket biru itu. Macet parah.
Harus diketahui pula bahwa area Sirkuit berbeda jauh dengan area stadion sepakbola. Di stadion sepak bola begitu masuk gate langsung kita ke tribun. Tapi di arena Sirkuit, setelah lepas pintu masuk kita masih harus berjalan lagi sekitar 200 meter menuju tempat yang ditentukan. Dengan kata lain di arena sirkuit tenaga penonton harus prima.
Minggu siang itu mau tidak mau kami harus minta bantuan Karna. Putra asli Mandalika itu. Setelah ditelepon Pak Junaidi, tak sampai 30 menit Karna datang.
Yang pasti kalau naik mobil sulit bergerak. Harus naik sepeda motor ojek. Karna memang kerjanya ojek sepeda motor. Pak Hasyim juga harus ikut. Dan untunglah Pak Hasyim mau juga.
Tapi ada alternatif cemerlang dari Karna. Apa gerangan?
"Kita nonton dari Bukit Seger saja, Pak! Nggak macet dan gratis pula. Pak Hasyim bisa nonton karena tanpa tiket," ujar Karna.
Melihat balap MotoGP dari Bukit Seger, Mandalila. (VIDEO: Slamet Oerip Prihadi - Cowasjp.com)
"Setujuuuu!" kami serentak sepakat.
Maka, tiket gelang biru pun tak diperlukan lagi. Inilah salah satu pengalaman berharga bagi kami di Mandalika. Kalau lebih pasti dan cepat, mengapa tidak?
World Super Bike November 2021 tidak seheboh MotoGP 18-20 Maret 2022. Di MotoGP jumlah penontonnya 4 sampai 5 kali lipat dibanding WSBK 19-21 November 2021.
Dan, siapa bilang tidak ada turis asing yang nonton MotoGP. Lihatlah cafe-cafe dan restoran di Pantai Kuta Mandalika yang didominasi pengunjung kulit putih. "Mereka semua nonton MotoGP, Pak," kata Karna.
Mobil Pak Hasyim diparkir di seberang warkop. "Nanti saya yang jaga. Aman," kata bapak pemilik warkop. Lantas diam-diam saya selipkan Rp 30.000 ke tangan bapak pemilik warkop. Saya bisiki beliau. "Ini untuk parkir, Pak. Nanti kalau ada yang memberi lagi, terima saja ya."
"Baik Pak. Terima kasih ya," katanya.
Kami siap menuju Bukit Seger. Tapi untuk ke sana tidak sembarang orang bisa masuk. Kita bisa masuk kalau digonceng sepeda motor oleh putra asli Mandalika.
"Polisinya semua putra asli Lombok, Pak. Kalau dicegat saya pakai bahasa Sasak saja. Pasti lolos. Polisi orang kita, Pak," terang Karna. Kalau orang luar Lombok pasti dilarang masuk.
Karna kemudian memanggil teman ojeknya. Tapi untuk 6 orang hanya tersedia 3 sepeda motor. Karena itu diputuskan tiap sepeda motor diboncengi dua orang.
Karna dkk. kemudian bergerak melewati jalan pintas yang relatif sepi. Menanjak bukit. Jalannya sudah dibeton. Kalau bukan penduduk asli Mandalika tidak akan tahu jalan pintas ini. Di balik bukit itulah terbentang Bukit Seger. Kami pun turun. Sepeda motor sudah banyak yang parkir di situ. Kami harus melewati jembatan bambu (dengan tumpuan beton) ke Bukit Seger. Sejauh sekitar 60 meteran.
Bukit Seger kira-kira setinggi 50 meter. Karna ikut naik mengawal kami. "Nanti kalau sudah di atas pemandangannya sangat bagus, Pak," kata Karna.
Tapi bagi orang seusia saya harus berhenti 4 kali untuk sampai ke puncak. Karna tertawa renyah melihat saya berjuang naik bukit. "Semangat Pak!" katanya.
"Saya harus ambil napas dulu, kemudian naik lagi. Wis tuwek rek!" jawab saya. Karna hanya tertawa ngakak.
Begitu sampai di puncak pemandangannya memang luar biasa. Bukit Seger tepat berada di seberang Bukit 360 derajat Pertamina yang berlokasi di sisi dalam Sirkuit.
Kita bisa melihat Sirkuit dengan 4 tikungannya, dan melihat pantai dan lautan di sisi selatan yang indah. Lautan biru dengan pantai berpasir putih. Di sisi tenggara pantai untuk rafting para turis.
Lokasi Bukit Seger di sisi luar area Sirkuit. Di situ juga berjaga-jaga sejumlah petugas Polri dan BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana). Bermarkas di tenda khusus warna oranye.
Dan, ini yang penting. Di bawah Bukit yang kita lewati sebelum naik, ada beberapa warkop. Asyeeek. Harga kopi hanya Rp 5.000 per gelas. Salah satu penjualnya ibu usia 32 tahun, punya anak 4. "Dulu kita ngopi di sini waktu WSBK," kata Pak Junaidi.
Semoga di MotoGP tahun depan kami bisa ke Bukit ini lagi. Yang gratis.
Saat kami tiba di atas bukit, masih sempat melihat balapan Moto2. Kemudian saat MotoGP melakukan warming up, hujan turun agak lebat. Balapan ditunda. Kami terpaksa turun bukit, dan ngopi bareng di warkop tadi. Hujan sekitar 1 jam, dan berakibat dipangkasnya jumlah lap MotoGP. Dari 27 lap jadi hanya 20 lap. Karena waktu sudah menunjukkan pukul 16:00 Wita ketika hujan reda.
Kami lantas naik bukit lagi. Tapi nggak perlu sampai puncak. Cukup di pinggang bukit sudah bisa melihat dengan jelas. (Videonya di atas).
Mohon maaf, tulisan saya ini sama sekali tidak melaporkan hasil pole position dan hasil balap. Semua berita komplet tentang itu pasti sudah diberitakan ratusan bahkan ribuan media cetak maupun online. Saya hanya ingin menulis sisi lain dari nonton MotoGP di Mandalika.
Ada beberapa kesimpulan menarik yang mungkin bermanfaat bagi pecinta balapan:
1/ Dari pembicaraan dengan beberapa penonton lain, ternyata masih cukup banyak kamar hotel dan homestay di Mandalika yang masih kosong.
Mengapa?
Ini karena marketplace mainstream tidak meng-cover semua hotel dan homestay yang ada di Mandalika.
Pemprov NTB tampaknya perlu membuat marketpace sendiri yang komplet tentang semua hotel dan homestay di Mandalika. Semua restoran, cafe, dan tujuan wisata yang apik di sana.
Lebih safe menginap di Mandalika daripada di Mataram. Kita tidak dicemaskan lagi dengan kemacetan parah perjalanan Mataram - Mandalika.
2/ Khusus untuk kami, Karna menawarkan: "Silakan menginao di rumah saya saja, Pak. Gratis. Ke Sirkuit cukup naik sepeda motor sekitar 10-15 menit."
"Bapak bisa pesan tiket jauh hari. Atau kita nonton bareng lagi di Bukit Seger," tambahnya.
Artinya, bagi penggemar berat balap MotoGP sangat penting menjalin persahabatan dengan putra asli Mandalika. Insya Allah banyak manfaat yang akan kita peroleh. Intinya: menjalin komunikasi yang baik di mana pun kita berada hasilnya akan sangat positif.
Tapi, lanjut Karna, rumah saya sederhana Pak.
"Nggak masalah, Karna," kata saya. Saya sangat respek terhadap kebaikan seorang Karna.
REZEKI TAK TERDUGA DI MATARAM
Ada dua rezeki tak terduga yang saya terima di Mataram.
Pertama, rezeki dari CEO Malang Posco Media, Mas Juniarno Djoko Purwanto. Akrab disapa Mas Pur. Beliau kirim pesan via WA. Saya diminta bertemu dengan petinggi Malang Posco Media yang ditugaskan meliput MotoGP di Mandalika. Ternyata beliau juga memberi hadiah Rp 500.000 kepada saya. "Untuk ngopi bareng dengan teman-teman Mas Slamet di Lombok," pesan Mas Pur.
Maturnuwun Mas Pur. Semoga Malang Posco Media semakin berjaya di Malang Raya. Aamiin. Semoga Mas Pur dan keluarga selalu dalam limpahan rahmat Allah. Aamiin.
Rezeki kedua?
Begini ceritanya. Saya ke Lombok diam-diam. Saya sengaja tidak mengabari Big Boss Lombok Post Group, Mas Ismail Husni. Saya tidak ingin merepoti beliau.
Bos Lombok Post Group Ismail Husni (duduk) dan penulis. (FOTO: Arifin Achmad)
Tapi ndilalah saking kersaning Allah, saat berangkat naik kapal Kirana VII dari Tanjung Perak, malam harinya bertemu Boss Radar Bogor, Mas Hazairin bersama rombongan. Nggak sengaja juga pertemuan ini.
Semula anak buah Mas Hazairin duduk satu meja dengan kami di deck teratas Kirana VII. Begitu anak buah Mas Hazairin menjelaskan bahwa dia bersama rombongan Radar Bogor, Pak Bambang lantas menunjuk saya. "Lo ini Pak Slamet pensiunan Jawa Pos. Satu jajaran dengan Radar Bogor."
Pak Hazairin pun pindah meja ke meja kami. Omong-omong gayeng, kemudian saling catat nomor HP. Beliau rencananya akan mancing bareng dengan Bos Lombok Post Group, Mas Ismail Husni.
Nah, dari Mas Hazairin lah Mas Ismail Husni tahu bahwa saya berada di Mataram.
Keesokan harinya saya ditelepon Mas Ismail. Saya diminta ketemu sebelum pulang.
"Kapan pulang," tanya Mas Ismail.
"Kapal Kirana VII berangkat Senin 21 Maret pukul 15.00 Wita," kata saya.
"Baik, nanti Senin kita ketemu ya. Saya ajak makan siang bersama semua teman Mas Slamet," kata Mas Ismail.
Senin 21 Maret sekitar jam 10.00 Wita, saya ditelepon lagi. Beliau minta alamat rumah Pak Hasyim. Dan, 20 menit kemudian beliau tiba di rumah Pak Hasyim.
Kami diajak makan siang di restoran yang mantab di Mataram. Usai makan siang, saya diberi amplop oleh Mas Ismail. "Ini untuk tambahan sangu, Mas," kata beliau.
Alhamdulillah. Terima kasih Mas Ismail Husni. Semoga Lombok Post Group selalu berjaya. Anda sekeluarga selalu dikaruniakan limpahan rahmat dan berkah oleh Allah SWT. Aamiin.
Kami kemudian diantar ke Pelabuhan Lembar dengan mobil Fortuner-nya. Pak Hasyim bisa langsung pulang. Kamipun bersalaman hangat dengan Pak Hasyim yang baik hati itu. Terima kasih yang sebesar-besarnya Pak Hasyim.
Dalam perjalanan ke pelabuhan ternyata juga macet. Mendekati pelabuhan macet makin parah. Tapi longgar ke arah kota, arah kebalikannya. Wah gawat ini.
Akhirnya Mas Ismail memberikan solusi agar kita naik ojek saja. Kami pun oper ojek dan tarifntya hanya Rp 25.000 per orang. Tersedia 3 ojek. Per motor bisa membawa dua orang.
Saya diberi satu lembar lagi yang Rp 100.000 oleh Mas Ismail. Alhamdulillah berkat naik ojek kami tiba di dermaga ketika penumpang belum boleh masuk. Aman.
Lantas saya mengintip uang dalam amplop dari Mas Ismail. Ternyata Rp 2 nolnya 6. Alhamdulillah.
Sekali lagi maturnuwun, Mas Ismail Husni. Pak Bambang pun tersenyum ikut gembira.
Bukit Seger, Mandalika. (FOTO: Slamet Oerip Prihadi)
"Ini gara-gara tadi pagi saya disuguhi kopi yang rasanya asin oleh Pak Arifin," kata Pak Bambang Setiawan.
Mengingat kejadian ini di rumah Pak Hasyim, Senin pagi itu, kamipun tertawa terbahak-bahak.
Ternyata Pak Arifin yang membuatkan kopi salah ambil. Senin pagi itu kopi masih banyak. Toples kecil yang berisi gula tinggal sedikit. Karena itu Pak Arifin mengambil toples lain yang isinya berbentuk seperti gula.
Disuguhkanlah 3 gelas kopi kepada Pak Bambang, Pak Junaidi dan saya. Saya dan Pak Junaidi minum duluan. Aman. Tapi begitu Pak Bambang meminum kopinya, satu seruput langsung kaget.
"Lo kopinya kok asin!" katanya.
Pak Arifin pun segera mengambil toples yang lain tadi. Diambilnya sejumput. Benar, rasanya asin. Ternyata iru garam.
"Memang yang saya tambahkan paling banyak dari toples garam ini gelasnya Abah (begitu biasanya Pak Arifin memanggil Pak Bambang). Saya kira ini juga gula," kata Pak Arifin.
Weladalah. Ini semua menjadi kenangan manis kami selama tinggal di rumah Pak Hasyim. Hahahaha.
Pak Bambang pingin menonton WSBK 2022. Semoga keinginan itu terwujud. Dari pengalaman sekarang, pulangnya jangan H+1 setelah hari balap. Lebih baik H+3 atau H+4 setelah hari balap. Dengan begitu jalan ke pelabuhan sudah tidak macet lagi. Dan beliau bisa menapak tilas Lombok. Tahun 1962 silam Pak Bambang pernah sekolah SMP di Mataram dan Selong (Lombok Timur). "Saya ingin melihat seperti apa perkembangan Selong sekarang," kata Pak Bambang. Mungkin saya dan Pak Arifin juga ikut.
Semoga keinginan itu terlaksana. Aamiin. (HABIS)